Breaking News

33 Tahun Mengabdi, Guru Honorer Suryono Hanya Digaji Rp350 Ribu Setiap Tiga Bulan

Foto, Suryono (55), guru honorer asal Sukabumi, menjadi simbol keteguhan dan pengabdian sejati. Meski telah mengajar selama 33 tahun.

Queensha.id - Sukabumi,

Di tengah sorotan publik tentang nasib tenaga honorer di Indonesia, nama Suryono (55), guru honorer asal Sukabumi, menjadi simbol keteguhan dan pengabdian sejati. Meski telah mengajar selama 33 tahun, Suryono hingga kini masih berstatus honorer dengan gaji yang hanya Rp350 ribu, itu pun dibayarkan setiap tiga bulan sekali—bergantung pada pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Suryono adalah pengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tegal Panjang, Desa Sidamulya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi—sebuah wilayah yang jauh dari hiruk-pikuk kota dan minim akses. Sejak tahun 1992, ia telah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik anak-anak di pelosok, tanpa kenal lelah meski kesejahteraannya jauh dari layak.

“Dulu saya hanya digaji Rp10 ribu per bulan, itu pun dari iuran masyarakat. Sekarang Rp350 ribu, tapi keluar tiap tiga bulan, nunggu BOS cair,” ujar Suryono, dikutip dari Tribun Jabar, Kamis (3/7/2025).

Antara Dedikasi dan Realitas Hidup

Setiap hari, Suryono menempuh jarak 7 kilometer dengan sepeda motor untuk mencapai sekolah tempatnya mengajar. Dahulu, perjalanan itu ia lakukan dengan berjalan kaki. Kini, meski usianya tak lagi muda, semangatnya tetap membara.

Di balik semangat itu, tersimpan realitas hidup yang getir. Gaji minim yang hanya turun tiap triwulan, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Suryono menanggung hidup istri, anak-anak, serta dua kakak iparnya yang sudah lanjut usia.

Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, Suryono bertani palawija di sela waktu luangnya. Istrinya juga membuka warung kecil-kecilan demi menambah penghasilan.

“Agar bisa menunjang seluruh anggota keluarga, saya bertani palawija. Istri juga dagang kecil-kecilan di rumah,” katanya.

Sudah Berusaha, Tapi Tak Kunjung Diangkat

Suryono bukan tidak berusaha. Ia telah berulang kali mengikuti tes Guru Bantu Sekolah (GBS), bahkan sudah ikut program sertifikasi, namun hingga kini belum juga diangkat menjadi PNS atau PPPK.

“Sudah beberapa kali saya ajukan. Tahun 2005 ikut GBS, sertifikasi juga sudah. Tapi belum ada kabar. Belum juga diangkat,” keluhnya.

Kini di usianya yang ke-55, Suryono hanya bisa berharap. Harapan sederhana seorang pendidik yang telah memberikan lebih dari separuh hidupnya untuk mencerdaskan anak-anak negeri di pelosok.

“Mohon dengan sangat, pemerintah bisa mengangkat saya, baik lewat PPPK atau PNS. Usia saya sudah lanjut. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Saya takut nanti tidak kebagian jatah, padahal saya sudah mengabdi begitu lama,” tutupnya dengan suara lirih.

Simbol Ironi Dunia Pendidikan

Kisah Suryono bukan satu-satunya. Di seluruh penjuru Indonesia, masih banyak guru honorer yang hidup dalam keterbatasan, meski telah mengabdi puluhan tahun. Di balik kebijakan pendidikan yang silih berganti, mereka tetap setia berdiri di depan kelas, menyampaikan ilmu dengan hati, walau hidup mereka sendiri serba kekurangan.

Kini, saatnya negara hadir. Bukan sekadar lewat angka statistik dan retorika panggung politik, tapi melalui keputusan nyata: mengangkat mereka yang telah lama berjuang di garis depan pendidikan yang sebelum pengabdian itu hilang bersama usia yang menua.

***

Sumber: TN.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia