Foto, memperlihatkan seorang anak bertanya kepada orang tuanya. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Malam hari di sebuah rumah sederhana bisa jadi panggung drama yang lebih kompleks daripada sinetron jam prime time. Tidak ada lampu sorot, tidak ada skenario tertulis, tapi ada satu pertunjukan klasik yang terus diputar ulang setiap malam: ritual menyuruh anak tidur.
Seperti yang dialami sepasang orang tua muda di Jepara, suasana kamar sudah dibuat nyaman. Lampu tidur redup, aroma minyak telon menggoda hidung, dan kasur sudah seperti surga dunia mini. Tapi dari sudut kamar, terdengar suara khas ayah muda—dengan nada lembut tapi terkesan punya agenda tersembunyi:
“Ayo nak, cepat tidur ya. Biar besok bangunnya segar.”
Namun malam itu, skenario tak berjalan mulus. Sang anak—yang belum genap tujuh tahun—meluncurkan serangan balik dalam bentuk satu kalimat pendek tapi mematikan secara psikologis:
“Kenapa sih orang dewasa selalu nyuruh anak kecil tidur cepat? Emang kalau aku tidur, Bapak Ibu mau ngapain?”
Sejenak, kamar hening. Waktu seperti berhenti. Tak ada yang siap menghadapi “interogasi” malam hari dengan ketajaman logika seperti itu.
Sang ayah terlihat bingung, mulai memainkan jam imajiner di pergelangan tangan. Sang ibu hanya bisa mengelus kepala si kecil sambil tersenyum canggung. Pertanyaan itu seperti audit mendadak atas niat tersembunyi orang tua: ingin nonton film, makan camilan tanpa rebutan, atau sekadar rebahan tanpa ditanya “ini apa?” setiap 10 detik.
Sejumlah orang tua muda yang kami wawancarai mengaku mengalami hal serupa.
“Anak saya nanyanya gitu juga. Saya cuma bisa jawab: 'Mama mau beresin dapur, sayang.' Padahal ya mau buka YouTube,” ujar Dita, 30 tahun, warga Tahunan, Jepara.
Psikolog anak, Dr. Riani Yuliastuti, menyebut fenomena ini sebagai bentuk perkembangan kognitif anak yang semakin kritis. “Anak sekarang cepat menyerap pola komunikasi. Mereka peka pada bahasa tubuh dan pola kebiasaan. Jadi ketika orang tua memberi alasan tanpa dasar logis, mereka bisa langsung menantang,” jelasnya.
Strategi Menghindar dengan Cinta
Dalam kondisi seperti ini, para orang tua akhirnya punya dua pilihan:
- Mengarang dongeng baru yang lebih canggih.
- Ikut tidur lebih dulu, lalu kabur diam-diam.
Pilihan kedua terbukti lebih efektif secara emosional dan minimal konflik.
“Biasanya saya pura-pura tidur dulu, nanti kalau dia udah benar-benar lelap, baru saya geser pelan-pelan. Tapi kadang malah ikut ketiduran beneran,” ungkap Bayu, ayah dua anak asal Kedung, sambil tertawa.
Penutup
Cerita ini mungkin terdengar lucu dan ringan. Namun di balik itu tersimpan pesan penting: anak-anak kita semakin kritis, semakin cerdas, dan semakin ingin dimengerti.
Kadang, satu pertanyaan polos bisa menjadi cermin yang memaksa orang tua berkaca—apakah mereka sudah cukup jujur dan hadir untuk buah hatinya?
Dan kalau nanti anakmu bertanya lagi hal yang sama, mungkin jawabannya bukan sekadar alasan, tapi sebuah pelukan hangat dan kejujuran kecil:
“Iya, Nak… soalnya kalau kamu udah tidur, Bapak Ibu pengin istirahat juga. Tapi kalau kamu masih mau ngobrol, ya udah… ayo kita cerita-cerita dulu.”
Karena kadang, “me time” terbaik adalah tertawa bareng sebelum tidur, bersama anak yang kritis, cerewet, tapi penuh cinta.
***
Sumber: Risal Channel.
0 Komentar