Foto, dikutip dari akun Instagram Firda Ayu Kartika. (Ilus) |
Queensha.id - Cerita Netizen,
Unggahan bernada tajam dari akun Facebook Rahma Fitri tengah menjadi perbincangan hangat warganet. Dalam tulisannya, Rahma mengangkat realita yang kerap disembunyikan oleh banyak perempuan dalam rumah tangga: penderitaan batin karena hidup bersama suami yang tidak memberi ketenangan, tidak memberi cinta, dan bahkan tidak memberi arah.
“Para suami, apakah kalian memperhatikan bahwa ketika kalian bahagia, istri kalian lebih bahagia? Dan ketika kau marah, dia lebih marah?”
Unggahan itu tak hanya menyentil, tapi juga menggugah kesadaran: bahwa seorang wanita punya hak untuk bahagia. Jika kehadiran seorang suami justru menghadirkan luka, lantas apa gunanya pernikahan?
Realita Pahit: Suami Tak Hadir Secara Emosional Maupun Tanggung Jawab
Banyak wanita terpaksa bertahan dalam rumah tangga yang hambar, penuh tekanan, bahkan kekerasan emosional—semata-mata karena takut akan status “janda”. Padahal, menjadi istri yang terus disakiti, direndahkan, dan diabaikan jauh lebih menyakitkan daripada hidup sendiri namun merdeka secara batin.
Dalam Islam, pernikahan adalah ikatan suci yang dibangun di atas fondasi cinta (mawaddah), kasih sayang (rahmah), dan ketenangan (sakinah). Ketika salah satu unsur ini rusak secara sistemik, Islam pun tidak mewajibkan seorang istri untuk bertahan.
Islam Membolehkan Istri Mengambil Sikap
Islam memberikan ruang dan penghormatan terhadap keputusan seorang wanita untuk berpisah jika suaminya tidak menjalankan tanggung jawabnya. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
“Perempuan mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang syar’i, maka haram baginya mencium bau surga.”
Namun, ulama menegaskan bahwa “alasan syar’i” mencakup perlakuan buruk, pengabaian nafkah, kekerasan, dan hilangnya rasa aman dalam rumah tangga. Maka, ketika seorang suami sudah tidak lagi memberi manfaat—baik secara lahir maupun batin—maka seorang istri berhak memperjuangkan hidup yang lebih bermartabat.
Janda Bukan Aib, tapi Simbol Perjuangan
Stigma sosial terhadap status janda seringkali menjadi tekanan tambahan. Padahal, banyak perempuan hebat justru tumbuh setelah melepaskan hubungan yang mengekang dan menyakitkan.
Menjadi janda bukan berarti gagal, melainkan memilih untuk tidak terus disakiti. Banyak perempuan yang menemukan kembali harga dirinya, rejekinya, bahkan kedamaiannya setelah berani meninggalkan suami yang “tak ada guna”.
Bahagia Itu Pilihan dan Perjuangan
Pernikahan seharusnya menjadi ladang pahala, bukan neraka yang dibungkus formalitas. Bila keberadaan suami hanya menjadi beban—tanpa cinta, tanpa tanggung jawab, tanpa arah—maka tidak salah jika seorang istri berkata:
“Lebih baik aku menjanda, daripada hidup bersama lelaki yang hanya membawa luka.”
Karena dalam Islam, martabat seorang wanita tidak diukur dari statusnya, melainkan dari keteguhan hatinya untuk menjaga kehormatan, iman, dan kebahagiaan hidupnya.
***
Sumber: Rahma Fitri.
0 Komentar