Queensha.id - Cerita Netizen,
Hujan baru saja reda ketika langkah kaki berat terdengar menyusuri gang sempit sebuah kampung di Jawa. Suara itu berasal dari seorang pria dengan ransel lusuh di punggung, pulang setelah lima tahun mengadu nasib di tanah rantau. Wajahnya letih, matanya merah bukan karena tangis yang tumpah, melainkan karena terlalu lama ditahan. Namanya Rangga.
Di depan sebuah rumah kayu sederhana, berdirilah Ayu seorang perempuan yang selama lima tahun ini setia menanti. Perempuan yang kini tengah hamil besar, memandangi jalanan basah dengan hati berdebar. Saat sosok itu muncul di ujung gang, tak ada teriakan atau pelukan dramatis. Hanya mata yang saling menatap penuh arti.
“Maafkan aku, Dek,” ucap Rangga lirih.
“Aku gagal di tanah rantau. Lima tahun aku pergi, hanya sia-sia...”
Namun Ayu menjawab dengan ketenangan yang mengejutkan.
“Gapapa, Mas. Yang penting kamu pulang dengan selamat dan sehat.”
Tak ada kemarahan. Tak ada caci maki. Yang ada hanya cinta yang tetap tumbuh di tengah kekosongan, dan rindu yang tak pernah mengering. Di pelataran rumah yang sederhana itu, Rangga dan Ayu kembali merajut hidup dan bukan dari awal, tapi dari tempat mereka sempat terhenti.
Kilasan Lima Tahun Lalu
Kisah ini berawal dari tekad Rangga untuk mengubah nasib. Baru menikah beberapa bulan, ia meninggalkan Ayu demi mencari rezeki di kota besar. Tapi mimpi manis berubah menjadi perjuangan getir. Rangga berganti-ganti pekerjaan: kuli bangunan, tukang cuci piring, hingga pernah menggelandang. Tak sepeser pun berhasil ia tabung. Rasa malu menghantui setiap keinginan untuk pulang.
Namun segalanya berubah ketika ia menerima sepucuk surat singkat dari Ayu:
“Kami rindu. Pulanglah, Mas.”
Surat itu menggugah kesadaran yang selama ini tertimbun rasa gagal. Dengan modal pas-pasan dan hati yang gemetar, ia memutuskan kembali — bukan membawa uang, tapi membawa kejujuran dan penyesalan.
Menjadi Orang Baru di Tempat Lama
Hari-hari setelah kepulangannya diisi dengan kerja keras. Rangga tak memilih-milih pekerjaan: memperbaiki atap rumah tetangga, membantu di kebun, dan bahkan ikut mengajar anak-anak mengaji. Meski dulu pernah dicibir karena “pergi tak kembali”, kini perlahan warga kampung mulai menaruh simpati.
Ayu, dengan perut membuncit, tetap menjadi penyemangat Rangga. Ia tak hanya menanti, tapi juga menemani perjuangan baru sang suami. Kebersamaan mereka menjadi bukti bahwa cinta bukan soal kemewahan, tapi kesetiaan dalam kesederhanaan.
Pelajaran dari Seorang Ayah
Tiga bulan sejak kepulangannya, Ayu melahirkan seorang bayi laki-laki. Mereka menamainya Harapan. Bagi Rangga, anak itu bukan sekadar penerus garis keturunan, tapi simbol dari perjalanan berat yang akhirnya menemukan titik terang.
“Kami memang belum punya apa-apa, tapi kami punya Harapan. Dan itu cukup untuk memulai lagi,” ucap Rangga sambil menggendong anaknya.
Pulang Tak Selalu tentang Menang
Kisah Rangga adalah potret nyata ribuan perantau yang tersebar di penjuru negeri. Tidak semua pulang dengan cerita sukses. Tapi bukan berarti mereka kalah. Sebab seperti kata Ayu, yang terpenting adalah selamat dan sehat.
Kisah ini mengajarkan bahwa pulang bukan hanya soal tempat tapi tentang keberanian untuk kembali, ke pelukan orang-orang yang tak pernah berhenti menunggu. Dan dari sanalah, harapan bisa tumbuh kembali.
"Karena dalam hidup, kadang yang paling berharga bukan apa yang kita bawa pulang, tapi siapa yang masih setia menunggu di ujung jalan,"
***
Sumber: Risa Channel.