Foto, ilustrasi. Seorang ayah memarahi anak laki-lakinya. |
Queensha.id - Jepara,
Setiap anak lahir membawa hati yang bersih. Mereka tidak mengenal benci, belum tahu rasa takut, dan belum paham apa itu merasa “tidak cukup baik”.
Namun, dunia yang mereka kenal dan bagaimana mereka menilai diri sendiri sangat ditentukan oleh bagaimana kita, orang tuanya, memperlakukan mereka.
Ironisnya, banyak anak justru tumbuh di rumah yang penuh tekanan emosional.
Kelelahan, stres, hingga trauma masa lalu sering membuat orang tua tanpa sadar menjadikan anak sebagai tempat pelampiasan. Kita marah karena penat, berteriak karena tidak tahu cara lain, dan bersikap kasar karena itulah pola asuh yang dulu kita terima. Tapi, tidak ada anak yang mampu tumbuh dengan damai jika setiap hari dihujani suara keras, ancaman sinis, dan ekspresi wajah yang membuat mereka takut.
“Kita ingin anak yang jujur, tapi kita marah saat mereka berkata jujur. Kita ingin anak yang berani, tapi kita tutup telinga saat mereka menyuarakan pendapat. Kita ingin anak yang baik, tapi lupa bahwa kebaikan tak bisa dipaksakan itu harus ditunjukkan,” ujar seorang konselor keluarga di Jepara.
Luka psikologis masa kecil bukan hanya soal trauma yang besar, tapi juga luka-luka kecil yang tertanam dalam keseharian. Anak-anak belajar diam bukan karena paham, tapi karena takut. Mereka berbohong bukan karena nakal, melainkan demi merasa aman. Mereka berpura-pura menjadi anak baik bukan karena jujur, tapi karena takut kehilangan cinta dari orang tuanya.
Tanpa disadari, kita sedang mencetak generasi luka dalam diam. Anak-anak yang terlihat penurut tapi memberontak dalam hati. Yang tersenyum di luar tapi menangis di dalam. Dan ketika dewasa, banyak dari mereka yang tumbuh menjadi pribadi penuh ketakutan, dendam, bahkan kebencian pada dirinya sendiri—bukan karena mereka buruk, tapi karena tidak pernah merasa cukup aman untuk menjadi diri sendiri. Namun semua itu masih bisa diperbaiki.
Anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan orang tua yang sabar, yang mau mendengar tanpa menghakimi, yang hadir dengan pelukan saat mereka lelah, dan yang mau belajar bersama mereka.
Karena sejatinya, anak tidak meniru apa yang kita ucapkan. Mereka meniru bagaimana perasaan mereka saat berada di dekat kita.
Jadi, sebelum kita melampiaskan amarah, mari bertanya: apakah luka dalam diri kita harus diwariskan pada mereka yang paling kita cintai?
***
Jum'at, 01 Agustus 2025
Redaksi: Queensha Jepara