Foto, kericuhan antar warga Pati dan pejabat kabupaten Pati. |
Queensha.id - Pati,
Dalam jagat pemikiran Jawa, kepemimpinan bukan sekadar perkara jabatan atau kekuasaan. Seorang pemimpin diibaratkan payung teduh bagi rakyatnya untuk melindungi, memberi rasa aman, dan menyatukan hati. Namun ketika payung itu justru membuat rakyat kepanasan atau kehujanan, maka ia kehilangan makna keberadaannya.
Kasus yang menimpa Sudewo dan gejolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen di Pati menjadi cermin besar. Dalam pandangan kearifan lokal Jawa, ada beberapa pelajaran yang patut direnungkan.
Nrimo ing Pandum, tapi Bukan Pasrah Buta
Orang Jawa diajarkan menerima nasib dengan lapang dada. Namun itu bukan berarti membiarkan ketidakadilan berjalan tanpa perlawanan. Rakyat yang menyuarakan protes bukan berarti tidak nrimo, melainkan menjaga keseimbangan agar kebijakan tetap berada dalam koridor keadilan.
Pepatah Jawa: "Nrimo ing pandum, nanging ora gelem ditindhes."
(Menerima bagian hidup, tetapi tidak rela ditindas.)
Renungan:
Diamnya rakyat jangan disalahartikan sebagai tanda setuju. Kadang, diam itu hanya menahan gelombang yang bila pecah, akan menjadi ombak besar.
Alon-alon Asal Kelakon
Kebijakan yang menyentuh urat nadi kehidupan rakyat ibarat menanam pohon di halaman orang dan harus minta izin, berbicara baik-baik, dan menjelaskan manfaatnya. Filosofi alon-alon asal kelakon mengajarkan proses yang sabar dan melibatkan rasa sebelum bertindak.
Pepatah Jawa: "Alon-alon waton kelakon, ojo kesusu mundhak kesandhung."
(Pelan-pelan asal terlaksana, jangan terburu-buru nanti tersandung.)
Renungan:
Keputusan yang cepat tapi tanpa empati ibarat bara dalam sekam—diam, namun siap membakar.
Sesrawungan lan Rukun
Harmoni antara pemimpin dan rakyat dibangun melalui sesrawungan (interaksi akrab) dan rukun (kerukunan). Saat komunikasi terputus dan rakyat hanya menerima perintah, tali batin antara pemimpin dan rakyat akan rapuh.
Pepatah Jawa: "Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah."
(Rukun membuat kuat, perpecahan membuat hancur.)
Renungan:
Pemimpin yang hanya melihat dari podium tinggi akan kehilangan pijakan di bumi rakyatnya.
Energi Batin dan Timbal Balik Alam
Dalam pandangan supranatural Jawa, setiap kebijakan membawa energi. Jika lahir dari niat tulus dan keadilan, alam akan mendukung. Namun jika berasal dari keserakahan atau kesombongan, energi itu akan memantul menjadi kesulitan bagi sang pembuat keputusan.
Pepatah Jawa: "Sapa nandur bakal ngundhuh."
(Siapa yang menanam, ia yang akan menuai.)
Renungan:
Doa rakyat yang terzalimi adalah pusaka paling tajam yang mampu menembus dinding kekuasaan.
Warisan Leluhur: Memayu Hayuning Bawana
Ajaran leluhur memayu hayuning bawana berarti memperindah dan menjaga kesejahteraan dunia. Pemimpin sejati akan selalu bertanya: “Apakah kebijakan ini membuat rakyatku tenteram, atau justru gelisah?”
Pepatah Jawa: "Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara."
(Menjaga harmoni dunia, memberantas keserakahan.)
Renungan:
Ukurlah setiap kebijakan dengan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar angka di laporan.
Wejangan Leluhur dalam Tembang Dhandhanggula
Dhandhanggula
Sapa dadi pepundhening praja,
kudu ngemong lan ngopeni kawula,
ora angkara, ora kumawula,
nanging ngluhurake kabecikan,
rumangsa melu nandhang rekasa,
bungah yen rakyat bungah,
susah yen rakyat susah,
ngudi rukun lan tenteram,
ngelinga marang pitutur para sepuh,
yen kuasa iku mung titipan Sang Hyang.
Makna:
Pemimpin sejati mengasuh rakyat, menegakkan kebaikan, ikut merasakan suka duka rakyatnya, menjaga kerukunan, dan selalu ingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan Tuhan.
Cermin Batin untuk Para Pejabat
Kasus PBB Pati bukan sekadar kisah protes pajak. Ia adalah gugatan rasa dari rakyat terhadap pemimpin yang lupa mendengar. Kekuasaan bukan untuk mempertebal wibawa pribadi, melainkan untuk mempertebal welas asih kepada rakyat dan bawahan. Sebab pada akhirnya, yang diingat bukan berapa lama seseorang berkuasa, tetapi seberapa tulus rakyat mendoakan ketika ia tak lagi menjabat.
***
Queensha Jepara, 9 Agustus 2025)