| Foto, orang tua dari 27 Demonstran anarkis di gedung DPRD Jepara. |
Queensha.id - Jepara,
Suasana haru menyelimuti Aula Lantai III Gedung Utama Mapolres Jepara, Kamis (4/9/2025). Sebanyak 27 demonstran anarkis yang sebelumnya diamankan polisi kembali dihadirkan untuk menjalani pembinaan bersama orang tua, kepala lingkungan, dan Bhabinkamtibmas dari wilayah masing-masing.
Momen mengharukan terjadi ketika para demonstran diminta bersujud dan memeluk orang tua mereka sebagai wujud permintaan maaf. Tangis pecah dari kedua belah pihak, menandai harapan baru agar peristiwa serupa tidak terulang.
Anak Putus Sekolah Dominasi Peserta Pembinaan
Kasat Binmas Polres Jepara, Iptu Happy Nawang Kuncoro, mengungkapkan bahwa sebagian dari 27 demonstran tersebut masih berusia di bawah umur. Bahkan, mayoritas dari mereka adalah anak putus sekolah yang rentan terpengaruh lingkungan sekitar.
“Teori Asosiasi Diferensial dari Edwin Sutherland mengatakan kalau anak nakal itu karena lingkungan yang mengajari tidak benar, salah pergaulan. Sehingga orang tua harus dekat, mereka sebenarnya cuma cari pengakuan,” jelas Happy.
Jangan Cap Mereka Anak Nakal
Dalam kesempatan itu, Happy juga menekankan pentingnya peran keluarga dan aparat di tingkat desa maupun kelurahan. Ia berpesan agar anak-anak yang terlibat dalam aksi anarkisme tidak dicap sebagai anak nakal.
“Kalau anak dicap nakal, maka ia akan menjadi-jadi. Dengan adanya pembinaan ini, harapannya anak tidak dilabeli sebagai orang kriminal, tetapi bisa dirangkul kembali,” tambahnya.
Dipulangkan Setelah Tidak Terbukti
Sebelumnya, 27 demonstran tersebut sempat diamankan saat aksi anarkis di Jepara pada Sabtu (30/8/2025). Namun setelah pemeriksaan, mereka dinyatakan tidak terlibat langsung dalam perusakan maupun tindak pidana. Karena itu, mereka dipulangkan dan diarahkan mengikuti pembinaan agar lebih dekat dengan keluarga.
Membangun Kesadaran Bersama
Melalui program pembinaan ini, Polres Jepara berharap bisa menciptakan lingkungan yang lebih kondusif. Upaya merangkul anak-anak yang sempat terjerumus dalam pergaulan salah dinilai lebih efektif ketimbang memberikan stigma negatif.
Kini, 27 remaja itu diharapkan bisa kembali ke masyarakat tanpa bayang-bayang label “anak nakal”, dan menjadikan pengalaman ini sebagai titik balik dalam kehidupan mereka.
***