Notification

×

Iklan

Iklan

Prabowo Cabut Tunjangan DPR Usai Gejolak Nasional: Rakyat Tak Boleh Disakiti

Kamis, 04 September 2025 | 09.39 WIB Last Updated 2025-09-04T02:42:00Z

Foto, saat sidang Tahunan MPR RI, (15/8/2025).

Queensha.id - Jakarta,


Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil langkah tegas di tengah gelombang protes nasional terhadap gaya hidup mewah dan tunjangan jumbo anggota DPR RI. Dalam pertemuan dengan pimpinan partai politik di Istana Merdeka, Minggu (31/8/2025), disepakati pencabutan sejumlah fasilitas DPR, termasuk tunjangan fantastis dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.


Kebijakan itu muncul setelah publik murka mengetahui fakta bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp100 juta per bulan. Kecaman makin keras ketika anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengaku bersyukur membawa pulang penghasilan sebesar itu, lengkap dengan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan. Ia bahkan menyebut rata-rata legislator mendapat Rp3 juta per hari.


“Para pimpinan DPR menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri,” tegas Prabowo.



Dari Joget DPR hingga Ledakan Protes Massa


Kemarahan publik sebenarnya sudah memuncak sejak Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025. Alih-alih menunjukkan wibawa, sejumlah anggota DPR justru berjoget-joget di ruang sidang. Aksi itu dianggap ngenyek atau melecehkan perasaan rakyat yang tengah terhimpit kesulitan ekonomi.


Kekecewaan makin dalam karena para legislator enggan meminta maaf. Sebagian bahkan melontarkan kata-kata kasar kepada publik yang mereka wakili.


Protes pun meluas. Mulai 25 hingga 30 Agustus, demonstrasi berhari-hari pecah di berbagai daerah. Sayangnya, tak satu pun wakil rakyat turun menemui massa. Puncaknya, seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat aksi di Jakarta Pusat pada 28 Agustus malam.



Respons Pemerintah dan Gejolak Politik


Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menegaskan bahwa seluruh kebijakan keuangan negara, termasuk tunjangan DPR, bukanlah selera pribadi. Namun, pernyataan itu tidak meredam amarah publik. Rumah dinas Sri Mulyani di Jakarta bahkan dijarah sekelompok orang tak dikenal pada Minggu dini hari (31/8).


Langkah pencabutan tunjangan oleh Prabowo dianggap sebagai bentuk meredakan ketegangan sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat.



Momentum Perubahan Sistem


Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai krisis politik kali ini harus dijadikan momentum untuk pembenahan sistem penggajian DPR. Ia mencontohkan Inggris yang pada 2009 membentuk Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) usai skandal dana publik.


“Komisi khusus memiliki formula yang didasari kondisi ekonomi, seperti indeks harga konsumen dan median upah pekerja sektor publik. Formula ini diundangkan sehingga tidak bisa seenaknya dinaikkan,” jelas Andri.


Menurutnya, wajar tidaknya gaji dan tunjangan DPR harus diukur dengan standar objektif yang memperhatikan penghasilan masyarakat umum. Hal itu penting untuk mencegah konflik kepentingan sekaligus menunjukkan etos keadilan.


Sebagai contoh, tunjangan rumah DPR yang mencapai Rp50 juta per bulan dinilai tidak masuk akal. Jika mengacu garis kemiskinan Jakarta sebesar Rp852.768 per kapita per bulan (Maret 2025), tunjangan realistis seharusnya tak lebih dari Rp3,2 juta per keluarga yang sesuai data Survei Biaya Hidup (SBH).



Menyelamatkan Wibawa Parlemen


Langkah Prabowo mencabut tunjangan mewah DPR menjadi titik balik penting. Namun, publik masih menunggu konsistensi eksekusi kebijakan ini di lapangan. Tanpa perubahan struktural, wibawa parlemen akan semakin tergerus.


Bagi rakyat, keputusan ini diharapkan menjadi awal dari parlemen yang lebih sederhana, adil, dan benar-benar berpihak kepada kepentingan bangsa, bukan sekadar kemewahan pribadi.


***

×
Berita Terbaru Update