Notification

×

Iklan

Iklan

Kalau Semua Harus Viral Baru Diperhatikan, Lalu Apa Kabar Guru di Pelosok?

Jumat, 17 Oktober 2025 | 19.07 WIB Last Updated 2025-10-18T08:44:59Z

Foto, ilustrasi. Seorang guru sekolah dari pelosok negeri.


Queensha id - Jakarta,


Di tengah derasnya arus media sosial, banyak isu baru mendapat perhatian publik justru setelah menjadi viral. Dari kasus sosial, politik, hingga dunia pendidikan dan perhatian sering kali datang bukan karena kepekaan, tetapi karena sensasi. Namun, di balik hiruk pikuk layar digital, masih ada para guru di pelosok negeri yang bekerja dalam diam, tanpa sorotan kamera, tanpa unggahan viral, dan tanpa penghargaan besar.


Mereka adalah wajah sesungguhnya dari perjuangan pendidikan Indonesia. Guru yang tetap datang ke sekolah meski jalan berlumpur, sinyal sulit, atau gaji jauh dari layak. Mereka mengajar bukan demi popularitas, melainkan karena panggilan hati karena untuk menyalakan masa depan anak-anak di ujung negeri.



Dedikasi yang Tak Pernah Viral


Menurut pengamat pendidikan terkemuka, Prof. Hadi Gunawan, perhatian publik dan kebijakan pendidikan sering kali timpang. Guru di kota dengan akses media lebih mudah mendapat perhatian, sementara perjuangan guru di pelosok jarang muncul ke permukaan.


“Kita sedang hidup di era di mana yang terlihat sering kali lebih dihargai daripada yang berjuang dalam senyap,” ujar Prof. Hadi, Jumat (17/10/2025).



“Padahal, tanpa guru-guru di pelosok, sistem pendidikan nasional akan kehilangan akar dan maknanya," imbuhnya.


Prof. Hadi menyoroti bahwa banyak guru di daerah terpencil masih menghadapi keterbatasan ekstrem: fasilitas sekolah minim, keterlambatan insentif, bahkan harus berjalan berjam-jam untuk sampai ke tempat mengajar. Namun, semangat mereka tetap menyala.


“Bayangkan ada guru yang setiap pagi berjalan 5 kilometer melewati hutan hanya untuk mengajar 10 anak. Tidak ada kamera yang merekam, tapi mereka terus melakukannya. Itu dedikasi sejati yang tidak bisa diukur dengan ‘like’ atau ‘viewer’,” tambahnya.



Ketika Kepedulian Bergantung pada Viralitas


Fenomena “kalau tidak viral, tidak diperhatikan” kini menjadi sorotan serius. Banyak kasus ketidakadilan baru diselesaikan setelah warganet ramai membahasnya. Hal yang sama juga terjadi di sektor pendidikan.


“Beberapa sekolah di pelosok baru mendapat bantuan setelah viral di media sosial. Ini menandakan bahwa sistem pendataan dan evaluasi pendidikan kita belum berjalan dengan empatik, masih reaktif terhadap popularitas,” jelas Prof. Hadi.


Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki mekanisme tetap untuk memantau kesejahteraan guru di daerah terpencil tanpa menunggu laporan viral. “Viral itu seharusnya bukan pintu perhatian, tapi alarm bahwa sistem pengawasan belum berfungsi,” tegasnya.



Menyalakan Cahaya dari Ujung Negeri


Guru di pelosok bukan hanya pengajar, tapi juga motivator, penggerak, dan penjaga harapan. Mereka membangun semangat anak-anak di desa terpencil agar tetap berani bermimpi, meski sekolah mereka mungkin hanya berdinding bambu dan beratap bocor.


“Kalau negeri ini mau maju, kita harus mulai menghargai guru bukan karena popularitasnya, tapi karena perjuangannya. Viral boleh datang dan pergi, tapi dedikasi guru sejati tidak akan pernah padam,” pungkas Prof. Hadi.


Sementara dunia digital sibuk mengejar popularitas, para guru di pelosok masih sibuk mengejar cahaya pengetahuan yang bukan untuk ketenaran, tapi untuk masa depan anak-anak bangsa.
Dan mungkin, sudah saatnya negeri ini belajar: pengabdian tidak butuh panggung, hanya butuh perhatian yang tulus.


***
Editor: Queensha Jepara
Jakarta, 17 Oktober 2025

×
Berita Terbaru Update