Foto, seseorang yang memakai Sorban. |
Queensha.id - Edukasi Islami,
Sorban telah lama menjadi simbol identitas umat Islam, terutama di dunia Timur Tengah. Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia, penggunaannya sering kali menimbulkan perdebatan: apakah sorban merupakan tanda keulamaan, atau sekadar busana yang memiliki nilai sunnah dan budaya?
Dalam sejarahnya, sorban memang berasal dari budaya Arab. Nabi Muhammad SAW dikenal sering mengenakan sorban dalam keseharian maupun saat beribadah. Hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Huraits dan dicatat dalam Shahih Muslim menyebutkan:
“Aku melihat Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar dengan mengenakan serban hitam.”
Bahkan, sebagaimana dikutip dalam kitab I’anah At-Tholibin (Juz 2 Halaman 151), Rasulullah SAW bersabda:
“Sholat dengan memakai sorban 25 kali lebih utama daripada tanpa sorban. Dan sholat Jumat dengan memakai sorban 70 kali lebih utama daripada tanpa sorban.”
Hadits ini menunjukkan bahwa sorban tidak sekadar pelengkap pakaian, melainkan simbol kehormatan dan adab dalam beribadah.
Hukum Memakai Sorban di Indonesia
Secara umum, hukum memakai sorban bagi setiap muslim adalah sunnah, baik saat sholat maupun di luar sholat, selama diniatkan sebagai bentuk berhias dan mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, hukum tersebut bisa berubah sesuai konteks dan niat pemakainya.
Jika seseorang memakai sorban dengan maksud menyerupai ulama, padahal ia bukan orang yang memiliki kapasitas keilmuan, maka hukumnya bisa haram, karena berpotensi menimbulkan kesalahpahaman masyarakat.
Sebaliknya, jika dikenakan untuk syiar agama atau meneladani Rasulullah, maka menjadi sunnah muakkad yang sangat dianjurkan, terutama bagi para ulama dan penuntut ilmu.
Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam Syarah Syama’il Nabi Muhammad menegaskan bahwa setiap muslim bebas mengenakan pakaian sesuai tradisi masyarakatnya selama tidak melanggar syariat. Artinya, tidak ada kewajiban khusus bagi umat Islam di luar Arab untuk mengenakan sorban.
Hal serupa disampaikan dalam Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah, yang menekankan bahwa sorban yang dikenakan Rasulullah SAW merupakan bagian dari adat, bukan ibadah. Karena itu, hukum mengenakan sorban adalah mubah (boleh) dan tidak wajib, tidak pula tercela bila ditinggalkan.
Pandangan Ulama Terkemuka di Indonesia
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. K.H. Syamsul Yakin, M.A., menilai bahwa kebiasaan Nabi SAW memakai sorban tergolong sunnah fi’liyah yang merupakan sunnah perbuatan Nabi yang dapat ditiru sebagai bentuk kecintaan dan penghormatan.
Namun, ia juga menegaskan pentingnya memahami konteks budaya:
“Bila seseorang tinggal di Indonesia, di mana peci, kopiah, atau songkok sudah menjadi pakaian kehormatan dalam ibadah dan acara keagamaan, maka itu pun sejalan dengan semangat sunnah yakni berpakaian sopan dan terhormat sesuai adat setempat,” ujarnya.
Menurutnya, Islam tidak mengikat umatnya pada simbol tertentu, tetapi lebih menekankan pada nilai kesopanan, kebersihan, dan niat ibadah di balik pakaian yang dikenakan.
Sorban: Simbol Kesederhanaan dan Kemuliaan
Nabi SAW bersabda sebagaimana dikutip Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits:
“Sorban-sorban adalah mahkota-mahkota Arab. Maka apabila mereka memakainya, mereka memakai kemuliaan mereka.”
Dengan demikian, sorban dapat dimaknai sebagai simbol kemuliaan dan keteladanan, bukan sekadar atribut keulamaan. Bagi masyarakat Indonesia, mengenakan sorban tetap memiliki nilai positif namun selama disertai niat baik, tidak untuk pamer, dan tetap menghormati budaya lokal yang berlaku.
Kesimpulannya, memakai sorban adalah amalan yang dianjurkan selama diniatkan untuk meneladani Rasulullah SAW dan menjaga adab dalam beribadah. Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia, memakai peci atau songkok juga bisa bernilai sama, karena Islam selalu memuliakan niat dan kesopanan, bukan sekadar bentuk pakaian.
Wallahu a’lam.
***
Queensha Jepara
17 Oktober 2025