| Foto, ilustrasi pertemanan. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Kebaikan hati seharusnya menjadi kekuatan. Namun dalam kenyataan, justru tidak sedikit orang berhati lembut yang tanpa sadar menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan. Berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa sikap terlalu ingin menyenangkan orang lain dapat berubah menjadi jebakan emosional yang melelahkan dan bahkan merusak kesejahteraan diri sendiri.
Berikut tiga kebiasaan orang baik hati yang paling sering membuat mereka dimanfaatkan, menurut ulasan berbagai riset psikologi internasional.
1. Selalu Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Banyak orang baik hati punya kecenderungan menomorsatukan kebutuhan orang lain dibanding diri sendiri. Sikap ini sekilas terlihat mulia, tetapi dalam jangka panjang membuat mereka kehilangan ruang untuk merawat kesehatan mental maupun fisik.
Artikel yang direview pekerja sosial klinis berlisensi, Danielle Wade, dan dipublikasikan di Medical News Today, menyebut bahwa orang yang terlalu baik sering takut mengecewakan. Mereka kerap berkata “iya” meski sebenarnya tidak sanggup, dan inilah yang perlahan melahirkan pola pengabaian diri.
Ketika dilakukan terus-menerus, lingkungan sekitar akan menganggapnya sebagai kewajaran. Padahal, berkata “tidak” juga bagian dari menjaga kewarasan.
2. Ketulusan Mereka Mudah Dianggap Remeh
Kebaikan yang diberikan terus-menerus sering membuat orang lain menganggapnya sebagai ‘paket standar’. Ini bukan asumsi semata. Penelitian Northwestern University yang dipublikasikan oleh PsyPost mengungkapkan bahwa individu dengan tingkat agreeableness tinggi lebih rentan diremehkan, diabaikan, bahkan dianggap tidak tegas.
Perasaan tidak dihargai ini tidak jarang berubah menjadi frustasi. Agar tidak terjebak dalam lingkaran tersebut, keberanian untuk meminta perlakuan yang adil sangat penting. Mengingatkan orang lain bahwa kebaikan juga butuh balasan bukanlah sesuatu yang egois.
3. Terlalu Mudah Memaafkan, Meski Terus Disakiti
Ini adalah pola paling klasik pada orang berhati lembut: memaafkan, memaafkan, dan memaafkan dan hingga akhirnya melelahkan diri sendiri.
Studi dalam Personality and Social Psychology Bulletin (2011) menunjukkan bahwa orang baik hati cenderung memberi peluang berulang pada mereka yang telah melukai. Memaafkan memang menandakan kedewasaan. Namun ketika dilakukan tanpa batas pada orang yang terus menyakiti, itu berubah menjadi lingkaran yang berbahaya bagi kesehatan emosional.
Orang yang terlalu mudah memaafkan rentan kehilangan rasa percaya diri dan batas personal. Padahal, menjaga batasan bukan berarti berhenti menjadi baik—melainkan cara agar kebaikan tidak dijadikan celah oleh orang lain.
Jadi, baik hati bukan kelemahan. Namun tanpa batasan yang sehat, kebaikan justru menjadi pintu bagi orang lain untuk memanfaatkan. Ingat, ketulusan tidak seharusnya dibayar dengan luka berulang. Setiap orang berhak dihargai, termasuk mereka yang paling lembut hatinya.
***
Tim Redaksi.