| Foto, pemeriksaan terhadap bangunan di Bangkalan, Madura. Sumber Foto: KPS. |
Queensha.id - Bangkalan,
Kabupaten di ujung barat Pulau Madura ini sedang berubah lebih cepat dari langkah warganya sendiri. September lalu, sebuah perjalanan mengelilingi Pulau Garam membuka kembali wajah Bangkalan yang makin dinamis, namun menyimpan masalah klasik: pembangunan melaju, aturan tertinggal.
Perjalanan bersama Salam yaitu seorang pengemudi yang sekaligus pemandu tak terduga yang membawa penulis menyusuri pantai-pantai dan jalanan yang memperlihatkan geliat kemajuan Madura. Salam, pria asal Sampang yang kini tinggal di Bangkalan, memotret perubahan itu dari mata seorang warga sekaligus penjelajah berbagai kota.
Sepanjang perjalanan, obrolan hangat dengan Salam mengalir seperti jalan panjang yang kami lewati. Tapi sesampainya di Bangkalan, satu hal mencolok: kabupaten ini berubah nyaris tak terkejar.
Rumah bilik berubah menjadi tembok, lahan kebun salak disulap jadi perumahan, rumah-rumah antik diratakan dan digantikan bangunan modern. Gedung-gedung tingkat empat tumbuh di halaman rumah yang dulu luas. Lalu lintas kini riuh, padat, dan bising seperti kota yang sedang mengejar ketertinggalan.
Seperti kota-kota lain di Indonesia, Bangkalan bersolek. Namun, di balik wajah baru itu, ada satu pemandangan janggal: banyak bangunan baru tanpa plang Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Padahal PBG telah resmi menggantikan IMB sejak PP No. 16 Tahun 2021, sebagai bagian dari penyederhanaan investasi dan penegakan standar teknis konstruksi.
Ketika ditanya mengapa banyak bangunan tak memasang plang PBG, Salam tertawa kecil.
"Sebagian warga sini memang nggak punya IMB atau PBG," ujarnya.
Saat ditegur aparat, tak sedikit warga membalas dengan nada keras:
“Tanah tanah punya saya. Duit duit saya. Mbangun rumah sendiri kok mesti izin?”
Sikap itu mencerminkan anggapan bahwa izin bangunan hanyalah formalitas yang tak perlu diprioritaskan. Banyak warga baru mengurus izin ketika butuh misalnya saat hendak mengajukan kredit bank.
Kurangnya pemahaman prosedur hingga pentingnya izin bangunan disebut sebagai salah satu penyebab. Sebagian warga merasa cukup menjadi pemilik tanah dan biaya; urusan izin dianggap tidak menyangkut mereka.
Padahal, PBG bukan sekadar kertas persetujuan. Ia menjadi perangkat penting untuk memastikan bangunan aman, sesuai tata ruang, dan tak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Justru karena itu, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar: menggencarkan sosialisasi sebelum menegakkan sanksi. Tanpa edukasi yang memadai, penertiban akan selalu berhadapan dengan protes standar:
“Tanah tanah punya saya; Duit duit saya; Membangun rumah sendiri kok mesti izin?”
Sebuah kalimat yang menegaskan bahwa Bangkalan memang sedang tumbuh pesat, namun masih tertinggal dalam kesadaran bahwa pembangunan kota bukan hanya urusan pondasi dan tembok, melainkan juga aturan yang melindungi semua warganya.
***
Sumber: Budi Santoso Kompasiana.
(09 Desember 2025)