Notification

×

Iklan

Iklan

Benarkah Tabur Garam dan Doa di Depan Rumah atau Toko Bisa Menyebabkan Sakit atau Menangkal Energi Negatif?

Senin, 29 Desember 2025 | 11.14 WIB Last Updated 2025-12-29T04:15:53Z
Foto, bukti garam grosok yang ditaburkan di depan rumah atau toko dengan tujuan tertentu.


Queensha.id - Jepara,


Belakangan ini beredar informasi di masyarakat tentang seseorang yang menyebarkan garam grosok dengan doa tertentu di depan rumah atau usaha orang lain, dengan klaim dapat menyebabkan sakit pada penghuni rumah atau berdampak negatif bagi usaha mereka. Pertanyaan yang sering muncul: apakah ini benar, sekadar mitos, atau bahkan benar-benar “manjur”? Artikel ini mencoba mengurai fenomena tersebut dari perspektif kepercayaan masyarakat, pandangan Islam, dan pandangan pengamat sosial dari Jepara.



Mitos dan Kepercayaan Sosial

Kepercayaan bahwa garam memiliki kekuatan supranatural bukan hal baru di banyak masyarakat. Dalam tradisi lokal, garam sering dikaitkan dengan kemampuan untuk menetralisir energi negatif, mengusir makhluk halus, atau sebagai pelindung dari gangguan tak kasat mata. Beberapa orang bahkan percaya ritual tertentu yaitu termasuk menabur garam atau menggunakan garam yang dibacakan doa agar dapat memberikan efek metafisik terhadap lingkungan atau individu tertentu. Ini termasuk kepercayaan bahwa garam bisa membersihkan aura atau menolak hal buruk di ambang pintu rumah. 


Namun, secara ilmiah tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim bahwa garam memiliki efek magis yang dapat menyebabkan sakit atau menghantarkan konsekuensi supranatural lainnya. Banyak ahli budaya menyebut ini bagian dari superstition atau kepercayaan tak rasional yang tetap hidup karena warisan budaya dan tradisi turun-temurun, bukan karena fakta objektif.



Dalam beberapa komunitas, praktik seperti “ruqyah garam” atau garam doa juga hadir sebagai bagian dari tradisi spiritual dan interpretasi sosial terhadap gangguan yang tidak mudah dijelaskan. Kepercayaan semacam ini menyebar melalui narasi lokal dan dipengaruhi oleh pengalaman personal, bukan bukti empiris.



Pandangan Islam: Tidak Ada Dasar Syar’i untuk Garam Ajaib

Dalam perspektif Islam, tidak ditemukan dalil yang shahih bahwa menabur garam atau menyebarkan garam dengan doa tertentu bisa menyebabkan sakit bagi orang lain atau mengusir makhluk halus secara otomatis. 


Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan praktik semacam itu sebagai metode untuk menyakiti atau melindungi diri dari gangguan supranatural. Islam justru mengajarkan agar umatnya meminta perlindungan kepada Allah SWT melalui doa dan bacaan ayat yang benar, seperti dzikir perlindungan dari gangguan syaitan.


Beberapa ulama bahkan menegaskan bahwa jika seseorang merasa diganggu oleh hal-hal ghaib atau setan, cara yang disyariatkan adalah membaca doa-doa tertentu dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, bukan melakukan ritual dengan media fisik seperti garam tanpa dasar syariat.


Fenomena garam yang dibacakan doa (garam ruqyah) kemudian dipasarkan sebagai solusi spiritual banyak dikritik oleh tokoh agama. Mereka menyatakan bahwa garam hanya bahan dapur biasa dan bukan alat sakti dalam agama, serta ajaran Islam tidak mendukung praktik yang tidak memiliki landasan syariat jelas. 



Pandangan Pengamat Sosial Jepara

Kepercayaan Tradisional dan Modernisasi
Menurut pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia dalam konteks budaya lokal masih memadukan kepercayaan tradisional dengan interpretasi modern. Keyakinan terhadap benda atau ritual tertentu sebagai pembawa energi baik atau buruk sering kali bersumber dari “kepercayaan kolektif” yang berkembang secara sosial dalam komunitas.


Kepercayaan ini tidak selalu didasari bukti empiris, tetapi didukung oleh pengalaman subjektif dan narasi turun-temurun.


Konteks masyarakat pesisir atau pedesaan di Jepara, misalnya, menunjukkan bahwa nilai budaya dan ritual lokal tetap kuat meskipun era digital mempengaruhi cara pandang generasi muda. Hal ini merupakan contoh bagaimana superstition bisa berkembang di masyarakat tanpa harus dibuktikan secara ilmiah.


Purnomo juga menyoroti bahwa ketika kepercayaan semacam ini dimanfaatkan untuk tujuan komersial yaitu seperti penjualan garam “berdoa” alias garam ruqyah atau mereka bisa mengarah pada eksploitasi emosional masyarakat yang mencari solusi cepat untuk masalah kesehatan atau keberuntungan. Ini dapat menimbulkan fenomena sosial di mana masyarakat percaya dan membelanjakan uang tanpa mendapatkan hasil nyata, meskipun ada klaim spiritual.


Tidak ada bukti ilmiah bahwa garam yang disebarkan dengan doa tertentu bisa menyebabkan sakit bagi penghuni rumah atau membawa energi negatif secara otomatis.


Dalam Islam, praktik semacam itu tidak memiliki dasar syariat, dan ajaran yang benar adalah memohon perlindungan kepada Allah melalui doa dan bacaan yang diajarkan Rasulullah SAW.


Secara sosial, fenomena ini mencerminkan kepercayaan tradisional dan kebutuhan psikologis masyarakat dalam memahami hal-hal yang sulit dijelaskan, serta dapat menjadi ruang eksploitasi komersial jika tidak dikritisi secara sehat.


Dengan demikian, fenomena menyebar garam dan doa tertentu lebih tepat dipandang sebagai mitos atau kepercayaan budaya yang berkembang di masyarakat, bukan sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan supernatural terbukti secara ilmiah atau syariat Islam. 


***
Tim Redaksi Queensha Jepara.