Notification

×

Iklan

Iklan

Bukan Sekadar Nasib: Lima Perilaku Ini Diyakini Membuat Rezeki Seret, Ini Penjelasan Sosial dan Pandangan Ulama

Senin, 22 Desember 2025 | 10.46 WIB Last Updated 2025-12-22T03:47:50Z
Foto, ilustrasi seseorang yang sedang bermalas-malasan.



Queensha.id - Edukasi Sosial,


Rezeki sering dipahami sebatas angka di rekening atau lancarnya usaha. Padahal, dalam kehidupan sosial dan pandangan agama, rezeki memiliki makna yang jauh lebih luas: kesehatan, ketenangan hidup, keharmonisan keluarga, hingga kemudahan urusan. 


Tak heran jika sebagian orang merasa bekerja keras namun hidup terasa sempit dan serba berat. Dalam banyak kajian, kondisi ini kerap dikaitkan dengan perilaku tertentu yang tanpa disadari “menutup pintu rezeki”.


Berikut lima perilaku yang secara sosial dan spiritual diyakini membuat rezeki seret, lengkap dengan edukasi dan solusinya.


1. Malas dan Gemar Menunda Pekerjaan

Perilaku malas dan suka menunda adalah musuh utama produktivitas. Secara sosial, orang yang sering menunda cenderung kehilangan kepercayaan, peluang, dan relasi. Dalam jangka panjang, ini berdampak langsung pada penghasilan dan karier.

Edukasi sosial: budaya disiplin dan tanggung jawab adalah modal utama untuk bertahan di tengah persaingan hidup.

Solusi: biasakan manajemen waktu, buat target harian, dan selesaikan tugas kecil terlebih dahulu agar terbentuk kebiasaan produktif.


2. Boros dan Tidak Amanah terhadap Harta

Rezeki yang besar tanpa pengelolaan yang baik akan terasa sempit. Gaya hidup konsumtif, utang berlebihan, serta tidak jujur dalam urusan keuangan sering kali menjadi penyebab utama krisis ekonomi pribadi.

Edukasi sosial: literasi keuangan penting agar masyarakat tidak terjebak gaya hidup palsu demi gengsi.

Solusi: buat anggaran, bedakan kebutuhan dan keinginan, serta biasakan hidup sederhana sesuai kemampuan.


3. Suka Mengeluh dan Berprasangka Buruk

Mengeluh berlebihan membuat seseorang kehilangan energi positif. Secara psikologis, orang yang gemar mengeluh lebih sulit melihat peluang dan cenderung terjebak dalam rasa tidak puas.

Edukasi sosial: membangun mental tangguh dan optimisme membantu seseorang bertahan dalam situasi sulit.

Solusi: latih rasa syukur, fokus pada solusi, dan kurangi membandingkan diri dengan orang lain.


4. Memutus Silaturahmi dan Enggan Berbagi

Hubungan sosial yang buruk sering berdampak langsung pada rezeki. Banyak peluang kerja, usaha, dan bantuan lahir dari relasi yang baik. Memutus silaturahmi sama dengan mempersempit jaringan sosial.

Edukasi sosial: masyarakat yang saling peduli cenderung lebih kuat secara ekonomi.

Solusi: jaga hubungan keluarga, tetangga, dan rekan kerja, serta biasakan berbagi meski sedikit.


5. Mengabaikan Nilai Kejujuran dan Etika

Kebohongan, kecurangan, dan menghalalkan segala cara mungkin memberi keuntungan sesaat, namun dalam jangka panjang merusak kepercayaan. Sekali kepercayaan hilang, pintu rezeki sering ikut tertutup.


"Ingat, "kejujuran adalah fondasi ekonomi yang berkelanjutan".


"Maka, bangun integritas, meski harus kehilangan keuntungan jangka pendek".



Pandangan Ulama Terkemuka di Indonesia

Sejumlah ulama Indonesia, seperti KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), kerap menekankan bahwa rezeki bukan hanya soal kerja keras, tetapi juga soal adab dan akhlak. Menurut mereka, perilaku seperti menyakiti orang lain, melalaikan ibadah, dan enggan bersyukur dapat menjadi penghalang datangnya keberkahan rezeki.


Ulama juga menegaskan bahwa sedekah, menjaga lisan, dan memperbaiki hubungan sosial adalah “pembuka pintu rezeki” yang sering diremehkan.


Pandangan Islam: Rezeki, Ikhtiar, dan Keberkahan

Dalam Islam, rezeki adalah ketetapan Allah, namun manusia diwajibkan berikhtiar dan menjaga perilakunya. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki sesuai kehendak-Nya, namun banyak ayat dan hadis yang mengaitkan kelapangan rezeki dengan ketakwaan, kejujuran, dan silaturahmi.


Islam mengajarkan bahwa rezeki yang sedikit tapi berkah lebih bernilai daripada rezeki besar namun penuh kegelisahan. Karena itu, memperbaiki akhlak, memperkuat ibadah, dan menjaga hubungan dengan sesama manusia menjadi kunci utama.



Jadi, rezeki seret tidak selalu berarti kurang bekerja, melainkan bisa jadi ada perilaku yang perlu diperbaiki. Lima kebiasaan di atas menjadi pengingat bahwa rezeki tidak berdiri sendiri, tetapi berjalan seiring dengan sikap hidup, nilai sosial, dan spiritualitas.


Pada akhirnya, memperbaiki diri—secara sosial dan religius bukan hanya membuka peluang rezeki, tetapi juga menghadirkan ketenangan hidup yang jauh lebih berharga.

***
Tim Redaksi.