Notification

×

Iklan

Iklan

Korban 995 Jiwa, Pengungsi Tembus Satu Juta: Sumatera Tenggelam dalam Duka Berkepanjangan

Sabtu, 13 Desember 2025 | 09.45 WIB Last Updated 2025-12-13T02:56:28Z

Foto, dari udara menampilkan tumpukan kayu-kayu memenuhi area Pondok Pesantren Darul Mukhlishin pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Jumat (5/12/2025).



Queensha.id - Sumatera, 


Hujan yang tak kunjung reda seolah menjadi saksi bisu duka panjang yang menyelimuti Pulau Sumatra. Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan sekadar bencana alam, melainkan tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam bagi ratusan ribu keluarga.


Hingga Jumat siang, jumlah korban meninggal dunia tercatat mencapai 995 jiwa. Angka ini terus bergerak seiring proses pencarian yang masih berlangsung di sejumlah titik terdampak. Sementara itu, jumlah pengungsi menembus hampir satu juta orang, hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian.


Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyampaikan bahwa selain korban meninggal, 226 orang masih dinyatakan hilang. Mereka tertimbun lumpur, terseret arus, atau terjebak di wilayah yang hingga kini belum sepenuhnya terjangkau tim evakuasi.


“Upaya pencarian terus dilakukan, meski dihadapkan pada medan berat dan cuaca ekstrem,” ujarnya.



Duka Tanpa Nama


Di Sumatra Barat, duka itu mencapai puncaknya saat 24 jenazah tanpa identitas dimakamkan secara massal di TPU Bungus, Kota Padang. Mereka disalatkan di Masjid Syekh Al Minangkabawi, dihadiri aparat, relawan, dan warga yang menahan air mata.


Tak ada nama yang tertulis di nisan mereka, hanya nomor dan daerah asal. Tim Disaster Victim Identification (DVI) telah berupaya melakukan pencocokan visual hingga pengambilan DNA, namun hasilnya belum menemukan titik terang.


Kapolda Sumatra Barat, Irjen Pol Gatot Tri Suryanta, menegaskan bahwa pemakaman massal dilakukan demi kemanusiaan, namun tetap membuka peluang pemindahan jenazah apabila kelak ditemukan kecocokan DNA dengan pihak keluarga.


Di antara liang-liang tanah itu, ada cerita yang terputus. Ada keluarga yang mungkin masih menunggu di pengungsian, berharap orang tercinta pulang, tanpa pernah tahu bahwa mereka telah lebih dulu dimakamkan.



Pengungsian dan Ancaman Baru


Di berbagai lokasi pengungsian, persoalan tak berhenti pada kehilangan rumah. Ancaman penyakit pascabanjir mulai mengintai, terutama di wilayah dengan akses air bersih dan layanan kesehatan yang terbatas.


Banyak pengungsi terpaksa bertahan di tenda darurat yang sempit, lembap, dan minim sanitasi. Anak-anak, lansia, dan ibu hamil menjadi kelompok paling rentan.


Pemerintah daerah telah memperpanjang masa tanggap darurat, khususnya di Sumatra Barat dan Sumatra Utara, guna memaksimalkan penanganan korban, perbaikan akses jalan, serta pendataan kerusakan.


Namun di balik kebijakan dan angka-angka statistik, rasa kehilangan tetap tak tergantikan.



Tragedi yang Menuntut Refleksi


Hampir sebulan bencana ini berlalu, tetapi Sumatra belum benar-benar pulih. Alam telah menunjukkan amarahnya, sementara manusia dihadapkan pada pertanyaan besar: sejauh mana kesiapsiagaan, tata ruang, dan perlindungan lingkungan benar-benar dijaga?


Bencana ini bukan hanya tentang hujan deras dan longsor, melainkan tentang harga mahal dari kelalaian, ketimpangan, dan kerusakan alam yang dibiarkan.


Di tengah puing dan lumpur, masyarakat Sumatra masih bertahan—dengan doa, dengan air mata, dan dengan harapan bahwa tragedi serupa tak kembali terulang.


***

Tim Redaksi.