Notification

×

Iklan

Iklan

Mengapa Banyak Warga Keturunan Tionghoa di Indonesia Terlihat “Tidak Mau Bergaul”? Pengamat Sosial: Ini Bukan Masalah Sederhana

Kamis, 25 Desember 2025 | 15.01 WIB Last Updated 2025-12-25T08:03:02Z

Foto, salah satu keluarga keturunan Tionghoa, (Keluarga Roger Danuarta selebriti Indonesia).


Queensha.id — Jakarta,



Fenomena yang sering muncul di ruang publik dan media sosial yaitu, bahwa sebagian warga Indonesia keturunan Tionghoa tampak kurang bergaul dengan kelompok masyarakat “asli Indonesia” yang menimbulkan pertanyaan besar. Padahal, kelompok etnis ini telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka dan secara resmi diakui sebagai warga negara Republik Indonesia. 


Lantas, mengapa integrasi sosial mereka terlihat lambat dan bahkan cenderung terpisah?


(WD), pengamat sosial terkemuka di Indonesia menegaskan bahwa jawabannya bukan sekadar soal kemauan individu untuk berbaur, tetapi berakar dari sejarah panjang, luka kolektif, kebijakan diskriminatif, dan identitas yang kompleks.



Sejarah Diskriminasi dan Trauma Kolektif

Sejak masa kolonial hingga pascaperjuangan kemerdekaan, komunitas keturunan Tionghoa di Indonesia sering diperlakukan berbeda dan menjadi objek diskriminasi. Baik masa kolonial Belanda maupun pemerintahan Orde Baru pernah memberlakukan kebijakan yang membatasi hak-hak budaya dan politik mereka, termasuk pelarangan menggunakan bahasa dan simbol budaya China secara publik serta penutupan sekolah dan media berbahasa Tionghoa.


Pengalaman traumatis seperti kerusuhan Mei 1998, di mana banyak warga keturunan menjadi target kekerasan dan kehilangan harta, memperkuat rasa tidak aman dan tidak sepenuhnya diterima dalam masyarakat luas.



Identitas yang Terpecah

Ahli sosiologi menjelaskan bahwa warga keturunan Tionghoa di Indonesia bukanlah kelompok homogin namun ada yang sangat terintegrasi, ada pula yang menjaga identitas budaya kuatnya. Riwayat pengalaman asimilasi paksa dan terutama masa Orde Baru hingga justru membuat banyak dari mereka mempertahankan budaya dan tradisi sendiri sebagai ‘zona aman’ terhadap tekanan sosial.


Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah masa lalu mengarah pada pemisahan sosial, bukan integrasi yang sehat. 


Bahkan istilah seperti “Chindo” muncul belakangan untuk menggabungkan identitas ganda ini sebagai upaya baru memperkuat keberadaan mereka sebagai bagian masyarakat Indonesia.


Struktur Sosial dan Pola Interaksi

Peneliti integrasi sosial menyebutkan faktor lain yang memperlambat pergaulan adalah pengelompokan komunitas secara geografis dan sosial. Banyak komunitas keturunan Tionghoa tumbuh di kawasan tertentu (Seperti “Chinatown”) dan memilih sekolah atau ruang sosial yang lebih banyak diisi oleh sesama komunitas mereka. Ini bukan semata karena mereka “tidak mau bergaul”, tetapi lebih karena “rasa aman dan kenyamanan budaya”.



Persepsi Publik dan Stereotip

Persepsi negatif yang diwariskan dari generasi ke generasi dan bahwa warga keturunan Tionghoa “eksklusif” atau “terpisah” yang justru memperparah ketidaknyamanan kedua pihak untuk berinteraksi lebih akrab. Pengamat sosial menyebut bahwa praduga-praduga ini bukan fakta universal, melainkan refleksi dari hubungan sosial yang belum sepenuhnya sehat dan setara di masyarakat Indonesia. 


Pandangan Pengamat Sosial

Menurut (WD) salah satu pengamat sosial terkemuka Indonesia, integrasi etnis bukan soal “mau atau tidak mau bergaul” semata, tetapi membutuhkan ruang yang aman, pengakuan identitas budaya, serta kesetaraan dalam kehidupan politik dan ekonomi:


“Keengganan untuk berbaur sering kali muncul bukan karena individu tidak ingin berinteraksi, tetapi karena pengalaman sejarah diskriminatif dan ketidakpastian akan penerimaan sosial. Integrasi yang sejati harus dibangun lewat pendidikan, kebijakan publik yang adil, serta pengakuan bahwa warga keturunan Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.”


Pendekatan ini menandai bahwa solusi bukan berada pada satu pihak saja—melainkan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk menjembatani pemahaman, menghapus prasangka, dan membangun interaksi yang lebih bermakna.

***
Sumber: warganegara.org