| Foto, salah satu lokasi bencana banjir besar di Sumatera. |
Queensha.id - Bencana Sumatera,
Polemik boleh-tidaknya pemerintah daerah di tiga provinsi Sumatera menerima bantuan internasional pascabencana kian tak terkendali. Alih-alih meredam situasi, pernyataan-pernyataan pejabat justru memantik gelombang kritik yang datang bertubi-tubi, baik dari publik domestik maupun komunitas internasional.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini berada di bawah sorotan tajam.
Amarah publik tak hanya meledak di media sosial. Media arus utama internasional ikut menyoroti sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai tertutup terhadap bantuan kemanusiaan asing.
Warga Malaysia menjadi salah satu pihak paling vokal, terutama setelah pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyinggung kecilnya bantuan dari Malaysia. Meski Tito telah meminta maaf, pernyataan itu telanjur melukai perasaan publik negeri jiran. Mantan Menteri Luar Negeri Malaysia, Tan Sri Rais Yatim, bahkan secara terbuka meminta Tito “belajar adab sebelum bicara”.
Tak berhenti di situ, penolakan bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) turut mencoreng hubungan antarbangsa Indonesia. Api ketegangan baru mereda setelah Muhammadiyah menyatakan kesiapan menjadi pihak penerima bantuan tersebut. Sebuah langkah cepat yang secara tak langsung menyelamatkan wajah diplomasi Indonesia.
Negara Kuat, Tapi Warga Masih Kelaparan
Sikap resmi Pemerintah Indonesia terhadap bantuan asing kian terang setelah Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet 15 Desember 2025 menyatakan Indonesia adalah negara kuat dan mampu menangani bencana di Sumatera tanpa bantuan internasional. Pernyataan itu pula yang diyakini menjadi alasan mengapa hingga hampir satu bulan pascabanjir bandang, status Bencana Nasional tak kunjung ditetapkan.
Masalahnya, narasi negara kuat yang disampaikan pemerintah tak sepenuhnya sejalan dengan realitas di lapangan. Media dan media sosial justru dipenuhi potret memilukan dari daerah terdampak seperti Aceh Tamiang dan Bener Meriah, yang berminggu-minggu setelah bencana belum tersentuh bantuan signifikan dari Pemerintah Pusat. Warga bertahan hidup seadanya, anak-anak meminta makanan, dan orang tua sakit berteduh di hunian tak layak.
Apakah ini kegagalan komunikasi publik, atau memang kegagalan penanganan? Pertanyaan itu terus menggelinding, tanpa jawaban yang meyakinkan.
Bantuan Internasional Bukan Tanda Kelemahan
Dalam norma hubungan internasional, penerimaan bantuan kemanusiaan pascabencana adalah praktik yang lazim, bahkan keniscayaan. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya kini tetap membuka pintu bantuan internasional saat dihantam Badai Katrina pada 2005. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun melalui Resolusi Majelis Umum A/RES/79/139 menegaskan pentingnya kerja sama internasional dalam penanganan bencana alam.
Ironisnya, Indonesia justru menjadi salah satu negara pengusung resolusi tersebut. Karena itu, langkah Pemerintah Aceh yang menyurati PBB melalui UNDP dan UNICEF semestinya dipahami sebagai respons darurat kemanusiaan, bukan pembangkangan diplomatik. Menyalahkan Aceh berpotensi memicu perlawanan politik dari rakyatnya dan sebuah risiko yang tak seharusnya diambil di tengah krisis.
Desakan Tetapkan Bencana Nasional
Penolakan Presiden Prabowo untuk menetapkan status Bencana Nasional justru memicu spekulasi liar. Kritik publik bergeser dari isu teknis penanganan bencana ke tudingan yang lebih politis: kepentingan bisnis, oligarki, hingga pembalakan liar dan deforestasi. Semakin keras penolakan disuarakan, semakin keras pula perlawanan rakyat.
Hingga kini, ratusan elemen masyarakat sipil yang termasuk LBH Muhammadiyah telah atau bersiap melayangkan somasi dan gugatan class action terhadap Pemerintah Pusat.
Isu kemanusiaan pun perlahan berubah menjadi bom politik.
Rendah Hati untuk Menjadi Besar
Sinyal Presiden Prabowo soal adanya pihak asing yang tak ingin Indonesia menjadi negara kuat seharusnya disertai data dan fakta.
Tanpa itu, pernyataan tersebut berisiko memicu ketegangan diplomatik yang tak perlu. Pada titik ini, prioritas negara semestinya sederhana: menyelamatkan warganya.
Menetapkan bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional dan membuka pintu bantuan internasional bukanlah tanda kelemahan. Justru di situlah letak kebesaran sebuah bangsa ketika ia cukup rendah hati untuk mengakui keterbatasan demi kemanusiaan.
Mungkin, dari sikap rendah hati itulah Indonesia benar-benar akan menjadi negara besar, melampaui sekadar label “kuat” yang selama ini digaungkan.
***
Sumber: KPS.
Tim Redaksi.