| Foto, Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang didampingi istri, Atalia Praratya Kamil. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Gelombang kabar perceraian figur publik kembali mewarnai ruang publik sepanjang 2025. Setelah publik dikejutkan oleh berakhirnya rumah tangga pasangan selebritas Raisa dan Hamish Daud, perhatian masyarakat kembali tersedot pada kabar keretakan pernikahan pasangan politikus Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Fenomena ini tak hanya memicu rasa penasaran, tetapi juga membuka diskusi luas tentang rapuhnya ikatan pernikahan di tengah tekanan sosial modern.
Di balik sorotan kamera dan gemerlap popularitas, perceraian ternyata menyimpan persoalan yang jauh lebih kompleks. Mengutip laporan Forbes Advisor, konflik terbesar pertama yang kerap dihadapi pasangan yang berujung pada perceraian bukanlah persoalan uang atau perselingkuhan, melainkan kurangnya dukungan dari keluarga. Faktor ini menjadi pemicu dominan yang sering kali luput dari perhatian publik.
Pandangan tersebut diperkuat oleh Dr. Helen Fisher, PhD, antropolog dari Universitas Rutgers sekaligus penulis enam buku tentang cinta dan perceraian. Ia menyebutkan bahwa banyak pasangan memutuskan berpisah setelah empat tahun pernikahan, fase yang kerap disebut sebagai masa krisis hubungan. Sementara itu, pengacara perceraian Bettina Hindin menambahkan bahwa puncak perceraian paling umum terjadi pada usia pernikahan lima hingga delapan tahun.
Perceraian bukan sekadar perpisahan dua individu. Dampaknya kerap meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam. Bagi orang tua, perceraian bisa berarti berkurangnya waktu bersama anak-anak yang merupakan sebuah kenyataan pahit yang sering menjadi pukulan terberat. Tak sedikit pula pasangan yang merasa kehilangan sahabat hidup, tradisi keluarga, stabilitas finansial, hingga gambaran masa depan yang selama ini dibangun bersama.
Studi Forbes Advisor merinci sejumlah faktor utama penyebab perceraian, dengan persentase yang mencerminkan kompleksitas persoalan rumah tangga masa kini. Kurangnya dukungan dari keluarga menempati posisi teratas dengan 43 persen, disusul perselingkuhan atau hubungan di luar pernikahan (34 persen). Faktor lain yang tak kalah signifikan meliputi ketidakcocokan, kurangnya kedekatan emosional, serta terlalu banyak konflik atau pertengkaran yang masing-masing berada di angka 31 persen.
Masalah finansial juga berkontribusi besar dengan 24 persen, diikuti kurangnya komitmen (23 persen) dan perbedaan pendekatan dalam mengasuh anak (20 persen). Sementara itu, menikah terlalu muda, nilai atau moral yang bertentangan, penyalahgunaan zat, hingga kekerasan dalam rumah tangga turut tercatat sebagai faktor meski dengan persentase lebih kecil.
Rentetan perceraian figur publik di tahun ini seakan menjadi cermin bagi masyarakat luas: bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga tentang dukungan, komunikasi, dan ketahanan menghadapi tekanan dari dalam maupun luar keluarga. Di tengah arus modernitas dan ekspektasi sosial yang terus berubah, menjaga keutuhan rumah tangga menjadi tantangan yang semakin nyata.
***
Tim Redaksi.