Queensha.id - Edukasi Sosial,
Di tengah kehidupan masyarakat, kerap muncul ironi yang mengusik nalar sekaligus batin. Ada laki-laki pekerja keras, bertanggung jawab menafkahi keluarga, namun tidak menyukai anak kecil, bahkan ketika istrinya hamil dan melahirkan. Di sisi lain, ada pula laki-laki yang sulit mendapat pekerjaan tetap, tetapi justru tekun mengurus rumah tangga dari mengepel lantai, mencuci, hingga membersihkan rumah tanpa mengeluh.
Lebih mencengangkan lagi, masyarakat sering menyaksikan sosok yang gemar mabuk-mabukan, berjudi, bahkan meninggalkan sholat, namun justru tampak hidup berkecukupan, usahanya lancar, dan rezekinya mengalir deras. Fenomena ini kerap memantik pertanyaan besar: ada apa dengan keadilan hidup?
Pekerja Keras Tapi Tak Suka Anak Kecil
Psikolog sosial menilai, ketidaksukaan sebagian laki-laki terhadap anak kecil bukan semata soal moral, melainkan bisa dipengaruhi faktor psikologis. Trauma masa kecil, kelelahan mental, tekanan ekonomi, hingga minimnya literasi pengasuhan bisa menjadi pemicu.
Dalam konteks sosial, masyarakat sering menyamakan kerja keras dengan kesempurnaan peran ayah.
Padahal, kemampuan mencari nafkah tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan emosional dalam membangun relasi dengan anak.
Tak Punya Kerja, Tapi Setia Mengurus Rumah
Fenomena laki-laki yang belum mapan secara ekonomi namun rajin mengurus rumah tangga juga masih sering dipandang sebelah mata. Padahal, kontribusi domestik adalah kerja nyata yang menopang stabilitas keluarga.
Perubahan struktur sosial membuat peran rumah tangga tidak lagi eksklusif milik perempuan. Namun stigma masih kuat, sehingga laki-laki dalam posisi ini kerap dianggap “kurang beruntung”, meski sejatinya mereka menjalankan amanah dengan cara berbeda.
Lalai Ibadah Tapi Rezeki Lancar
Inilah fenomena yang paling sering memicu perdebatan. Mengapa ada orang yang jauh dari nilai agama, tetapi hidupnya tampak mudah dan berkecukupan?
Dalam Islam, kondisi ini dikenal sebagai istidraj, yaitu keadaan ketika seseorang diberi kelapangan dunia meski bergelimang maksiat, sebagai ujian atau bahkan penangguhan hukuman.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
"Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong." (QS. Al-An’am: 44).
Artinya, kelimpahan harta tidak selalu menjadi tanda ridha Allah, bisa jadi justru bentuk ujian yang berat.
Pandangan Ulama Terkemuka Indonesia
Ulama karismatik Indonesia, seperti KH Quraish Shihab, berulang kali menegaskan bahwa rezeki tidak identik dengan kemuliaan di sisi Allah. Menurutnya, rezeki adalah bagian dari sunnatullah—ada hukum sebab akibat duniawi seperti kecerdikan, jaringan, dan keberanian mengambil risiko.
Sementara KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyebut bahwa orang yang tidak sholat tapi kaya bukan berarti sholat tidak penting, melainkan karena Allah masih memberi waktu baginya untuk sadar.
“Allah itu Maha Sabar. Orang maksiat saja masih diberi makan, apalagi orang yang taat,” ujar Gus Baha dalam salah satu pengajiannya.
Pandangan Islam: Rezeki, Ujian, dan Tanggung Jawab
Dalam Islam, rezeki terbagi menjadi rezeki lahir (harta, jabatan) dan rezeki batin (ketenangan, keluarga harmonis, iman). Tidak semua orang mendapat keduanya sekaligus. Ada yang kaya harta tapi miskin ketenangan, ada yang sederhana namun hidupnya penuh keberkahan.
Islam juga menekankan bahwa keadilan Allah tidak selalu tampak di dunia, karena dunia hanyalah tempat ujian, bukan tempat pembalasan akhir.
Pengamat Sosial Jepara Angkat Bicara
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai fenomena ini harus dilihat secara jernih dan tidak hitam-putih.
“Kesalahan kita seringkali mengukur hidup orang lain hanya dari luar. Kita tidak tahu beban batin, konflik keluarga, atau kegelisahan yang mereka simpan. Rezeki itu bukan cuma uang, tapi juga kesehatan, ketenangan, dan hubungan yang sehat,” kata Purnomo Wardoyo.
Menurutnya, masyarakat perlu berhenti membandingkan hidup secara dangkal dan mulai memahami bahwa setiap orang sedang diuji dengan cara yang berbeda.
Belajar Dewasa Menyikapi Hidup
Fenomena rajin tapi seret, lalai tapi makmur, sejatinya adalah cermin bahwa hidup tidak sesederhana rumus sebab-akibat. Islam mengajarkan untuk fokus memperbaiki diri, bukan sibuk menghakimi takdir orang lain.
Pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukan seberapa banyak harta yang dikumpulkan, melainkan bagaimana harta, peran, dan kehidupan dijalani dengan tanggung jawab dan kesadaran kepada Allah. Dunia boleh terlihat timpang, tetapi keadilan sejati tidak pernah salah alamat.