| Foto, ilustrasi keluarga kecil. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Di tengah meningkatnya angka konflik rumah tangga di berbagai daerah, kewajiban dasar seorang suami kembali menjadi sorotan publik. Bukan tanpa alasan, banyak kasus pertengkaran, perselingkuhan, hingga perceraian berawal dari gagalnya suami menjalankan peran yang menjadi fondasi kokohnya keluarga.
Di Jepara, pengamat sosial Purnomo Wardoyo menegaskan bahwa kewajiban suami bukan sekadar formalitas agama, tetapi menjadi “tulang punggung keharmonisan”. Ia menyebutkan bahwa banyak suami kini hanya memahami pernikahan sebagai status, bukan amanah yang menuntut tanggung jawab nyata.
Nafkah Lahir: Kewajiban yang Tak Bisa Ditawar
Suami wajib memberikan kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, dan papan. Ini bukan sekadar rutinitas, melainkan penopang kehidupan keluarga.
“Banyak suami lupa bahwa nafkah bukan hanya soal uang, tapi soal komitmen untuk memastikan istri dan anak hidup layak. Begitu kewajiban ini diabaikan, keharmonisan akan terguncang,” ujar Purnomo.
Menurutnya, alasan “tidak mampu” sering dipakai untuk menutup kelalaian. Padahal kemampuan bisa diukur dari usaha, bukan hasil semata.
Nafkah Batin: Yang Sering Terlupakan
Selain kebutuhan materi, suami juga wajib memenuhi nafkah batin: cinta, kasih sayang, perhatian, hingga hubungan biologis yang makruf.
Purnomo menyebut bahwa konflik rumah tangga banyak muncul bukan karena masalah uang, tetapi karena istri merasa tidak dihargai, tidak diperhatikan, atau diperlakukan dingin oleh pasangan.
“Perempuan butuh didengarkan, dihargai, disayang. Kalau suami tidak hadir secara emosional, rumah tangga akan retak pelan-pelan,” katanya.
Kepemimpinan: Tegas Bukan Keras
Islam menempatkan suami sebagai pemimpin keluarga, tetapi dengan syarat: adil dan bijaksana.
Kepemimpinan bukan berarti otoriter. Bukan pula membebankan semua kesalahan pada istri. Dalam praktiknya, kepemimpinan suami tercermin dalam keputusan yang melindungi, mendidik, dan membimbing keluarga sesuai ajaran agama.
“Suami boleh tegas, tapi tidak boleh kasar. Tegas itu mengarahkan, kasar itu merusak,” tegas Purnomo.
Pendidikan dan Perlindungan: Peran yang Tak Bisa Dialihkan
Suami adalah guru pertama bagi keluarga. Ia wajib membimbing istri dan anak dalam agama, memastikan lingkungan rumah aman dari bahaya dunia maupun moral.
Banyak kasus penyimpangan anak, kata Purnomo, berawal dari absennya sosok ayah sebagai pendidik.
“Jika suami memilih diam, acuh, atau menyerahkan semua urusan kepada istri, itu bukan kepemimpinan. Itu pelarian,” ujarnya.
Memperlakukan Istri dengan Baik: Ukuran Keimanan
Agama menegaskan bahwa laki-laki terbaik adalah yang paling baik terhadap istrinya. Artinya, suami wajib bergaul dengan penuh kasih, menjaga martabat istri, dan tidak menzalmimi.
Namun di lapangan, tidak sedikit suami yang masih memandang istri sebagai pelayan, bukan pasangan.
“Laki-laki sejati bukan yang ditakuti, tapi yang dihormati,” jelas Purnomo.
Tanda Rumah Tangga Mulai Runtuh
Menurut pengamat sosial itu, ada sejumlah tanda rumah tangga mulai rapuh:
- Suami mulai jarang memberi nafkah
- Komunikasi dingin dan kering
- Istri merasa tidak dihargai
- Suami tidak menjadi teladan bagi anak
- Tanggung jawab dilimpahkan sepenuhnya kepada istri
Jika lima indikator ini muncul, kata Purnomo, rumah tangga sedang berada di “zona kuning”.
Kesimpulan: Rumah Tangga Harus Dibangun, Bukan Dibiarkan
Kewajiban suami bukan sekadar daftar yang harus dihafal, tetapi komitmen yang harus dijalankan setiap hari.
“Rumah tangga itu bukan tumbuhan liar yang akan hidup sendiri. Ia harus dirawat,” tutup Purnomo Wardoyo.
Ia menegaskan, ketika suami menjalankan perannya dengan baik yaitu memberi nafkah, bimbingan, kasih sayang, perlindungan, dan keteladanan, maka keluarga tidak sekadar sakinah, tetapi menjadi benteng moral yang kokoh di tengah arus zaman.
***
(Tim Redaksi Queensha Jepara)