Queensha.id - Jepara,
Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di dunia pendidikan Kabupaten Jepara kembali mencuat dan dinilai sudah berada pada level yang serius. Keluhan demi keluhan dari orang tua murid terus bermunculan, terutama terkait penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan berbagai pungutan terselubung di sekolah negeri tingkat SD dan SMP.
Ironisnya, praktik tersebut terjadi di tengah larangan tegas dari pemerintah, baik melalui regulasi nasional maupun surat edaran resmi dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Jepara.
Orang Tua Murid Merasa Tertekan
Sejumlah wali murid mengaku keberatan dan tertekan dengan kewajiban membeli LKS yang dijual melalui sekolah. Harga LKS yang berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp30 ribu per buku dianggap memberatkan, terlebih bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
“Kalau tidak beli, anak kami takut dimarahi atau dibedakan perlakuannya di kelas. Kami jadi serba salah,” ungkap salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa hak siswa untuk memperoleh pendidikan yang adil dan gratis terancam, hanya karena kemampuan ekonomi orang tua.
Regulasi Jelas, Pelanggaran Terang-terangan
Praktik penjualan LKS di sekolah negeri jelas bertentangan dengan berbagai aturan yang masih berlaku, di antaranya:
PP Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181, yang melarang pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku pelajaran dan perlengkapan pendidikan.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, yang melarang komite sekolah melakukan pungutan atau penjualan dalam bentuk apa pun.
Permendikbud Nomor 8 Tahun 2025 Pasal 60, yang secara tegas melarang kepala sekolah dan tim BOS menjadi distributor atau pengecer bahan ajar, buku, dan alat pendidikan.
Surat Edaran Disdikpora Jepara Nomor 420/1616.1/2025, yang kembali menegaskan larangan komersialisasi di bidang pendidikan.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, aturan tersebut seolah hanya menjadi dokumen administratif, tanpa pengawasan dan penindakan yang nyata.
Beban Sosial dan Ancaman Keadilan Pendidikan
Maraknya dugaan pungli ini berdampak luas, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga sosial dan psikologis:
1. Biaya pendidikan meningkat, bertolak belakang dengan semangat sekolah gratis.
2. Siswa dari keluarga kurang mampu berpotensi terdiskriminasi.
3. Kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan negeri tergerus.
Jika dibiarkan, praktik ini berisiko menciptakan ketimpangan akses pendidikan dan mencederai tujuan pendidikan nasional.
Desakan Penindakan dan Transparansi
Orang tua murid mendesak Dinas Pendidikan Jepara, Inspektorat Daerah, hingga aparat penegak hukum untuk turun tangan secara serius. Mereka meminta adanya audit, sanksi tegas, serta mekanisme pengaduan yang aman bagi wali murid.
“Kami tidak menolak pendidikan, tapi kami menolak diperas. Aturan sudah jelas, tinggal keberanian pemerintah menegakkannya,” ujar seorang wali murid lainnya.
Ujian Integritas Dunia Pendidikan Jepara
Kasus dugaan pungli ini menjadi ujian serius bagi integritas dunia pendidikan di Jepara. Jika larangan resmi masih diabaikan, publik berhak bertanya: apakah pendidikan benar-benar bebas dari praktik bisnis, atau justru telah menjadi ladang pungutan terselubung?
Pemerintah daerah dituntut tidak hanya mengeluarkan surat edaran, tetapi juga hadir dengan pengawasan nyata dan sanksi tegas, demi melindungi hak siswa dan orang tua, serta menjaga marwah pendidikan sebagai ruang yang bersih, adil, dan berkeadilan sosial.
***